METODE DAN TEKNIK SUPERVISI PENDIDIKAN
Di muka telah diuraikan bahwa
tugas pengawas satuan pendidikan mencakup pengawasan atau supervisi administrasi
dan pengelolaan (manajerial) sekolah sekaligus supervisi akademik atau
pembelajaran. Karena fokus kedua hal tersebut berbeda, maka metode dan teknik
yang dipergunakan tentu berbeda pula. Berikut ini akan diuraikan tentang metode
supervisi manajerial dan supervisi akademik.
A.
Supervisi Manjerial
1. Monitoring
dan Evaluasi
Metode utama yang mesti dilakukan oleh pengawas satuan pendi- dikan
dalam supervisi manajerial tentu saja adalah monitoring dan evaluasi.
a. Monitoring/Pengawasan
Monitoring adalah suatu kegiatan yang
ditujukan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah,
apakah sudah sesuai dengan rencana, program, dan/atau standar yang telah
ditetapkan, serta menemukan hambatan-hambatan yang harus diatasi dalam pelaksanaan
program (Rochiat, 2008: 115). Monitoring lebih berpusat pada pengontrolan selama
program berjalan dan lebih bersifat klinis. Melalui monitoring, dapat diperoleh
umpan balik bagi sekolah atau pihak lain yang terkait untuk menyukseskan
ketercapaian tujuan. Aspek-aspek yang dicermati dalam monitoring adalah hal-hal
yang dikembangan dan dijalankan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Dalam
melakukan monitoring ini tentunya pengawas harus melengkapi diri de- ngan
parangkat atau daftar isian yang memuat seluruh indikator sekolah yang harus
diamati dan dinilai.
Secara
tradisional pelaksanaan pengawasan melibatkan tahapan: (a) menetapkan standar
untuk mengukur prestasi, (b) mengukur prestasi, (c) menganalisis apakah
prestasi memenuhi standar, dan (d) mengambil tindakan apabila prestasi
kurang/tidak memenuhi standar (Nanang Fattah, 1996: 102).
Dalam
perkembangan terakhir, kecenderungan pengawasan dalam dunia pendidikan juga
mengikuti apa yang dilakukan pada industri, yaitu dengan menerapakan Total
Quality Controll. Pengawasan ini tentu saja terfokus pada pengendalian mutu
dan lebih bersifat internal. Oleh karena
itu pada akhir-akhir ini setiap lembaga pendidikan umumnya memiliki unit
penjaminan mutu.
b. Evaluasi
Kegiatan
evaluasi ditujukan untuk mengetahui sejauhmana kesuksesan pelaksanaan
penyelenggaraan sekolah atau sejauhmana keber- hasilan yang telah dicapai dalam
kurun waktu tertentu. Tujuan evaluasi utamanya adalah untuk (a) mengetahui
tingkat keterlaksanaan program, (b) mengetahui keberhasilan program, (c)
mendapatkan bahan/masukan dalam perencanaan tahun berikutnya, dan (d)
memberikan penilaian (judgement) terhadap sekolah.
2.
Refleksi dan Focused Group Discussion
Sesuai
dengan paradigma baru manajemen sekolah yaitu pember- dayaan dan partisipasi,
maka judgement keberhasilan atau kegagalan sebuah sekolah dalam
melaksanakan program atau mencapai standar bukan hanya menjadi otoritas
pengawas. Hasil monitoring yang dilakukan pengawas hendaknya disampaikan secara
terbuka kepada pihak sekolah, terutama kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
komite sekolah dan guru. Secara bersama-sama pihak sekolah dapat melakukan
refleksi terhadap data yang ada, dan menemukan sendiri faktor-faktor penghambat
serta pendukung yang selama ini mereka rasakan. Forum untuk ini dapat ber- bentuk Focused Group Discussion (FGD),
yang melibatkan unsur-unsur stakeholder sekolah. Diskusi kelompok
terfokus ini dapat dilakukan da- lam beberapa putaran sesuai dengan
kebutuhan.Tujuan dari FGD adalah untuk menyatukan pandangan stakeholder
mengenai realitas kondisi (kekuatan dan kelemahan) sekolah, serta
menentukan langkah-langkah strategis
maupun operasional yang akan diambil untuk memajukan sekolah. Peran pengawas
dalam hal ini adalah sebagai fasilitator sekaligus menjadi narasumber apabila
diperlukan, untuk memberikan masukan berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.
3.
Metode Delphi
Metode Delphi
dapat digunakan oleh pengawas dalam membantu pihak sekolah merumuskan visi,
misi dan tujuannya. Sesuai dengan konsep MBS, dalam merumuskan Rencana
Pengembangan Sekolah (RPS) sebuah sekolah harus memiliki rumusan visi, misi dan
tujuan yang jelas dan realistis yang digali dari kondisi sekolah, peserta
didik, potensi daerah, serta pandangan seluruh stakeholder.
Sejauh ini
kebanyakan sekolah merumuskan visi dan misi dalam susunan kalimat “yang bagus”, tanpa dilandasi
oleh filosofi dan penda- laman terhadap potensi yang ada. Akibatnya visi dan
misi tersebut tidak realistis, dan tidak memberikan inspirasi kepada warga
sekolah untuk mencapainya.
Metode Delphi
merupakan cara yang efisien untuk melibatkan banyak stakeholder sekolah
tanpa memandang faktor-faktor status yang sering menjadi kendala dalam sebuah diskusi atau musyawarah.
Misalnya sekolah mengadakan pertemuan bersama antara sekolah, dinas pendidikan,
tokoh masyarakat, orang murid dan guru, maka biasanya pembicaraan hanya
didominasi oleh orang-orang tertentu yang percaya diri untuk berbicara dalam
forum. Selebihnya peserta hanya akan menjadi pendengar yang pasif.
Metode Delphi
dapat disampaikan oleh pengawas kepada kepala sekolah ketika hendak mengambil
keputusan yang melibatkan banyak pihak. Langkah-langkahnya menurut Gorton
(1976: 26-27) adalah seba- gai berikut:
a. Mengidentifikasi individu atau pihak-pihak
yang dianggap memahami persoalan dan hendak dimintai pendapatnya mengenai
pengembangan sekolah;
b. Masing-masing pihak diminta mengajukan
pendapatnya secara tertulis tanpa disertai nama/identitas;
c. Mengumpulkan pendapat yang masuk, dan
membuat daftar urutannya sesuai dengan jumlah orang yang berpendapat sama.
d. Menyampaikan kembali daftar rumusan
pendapat dari berbagai pihak tersebut untuk diberikan urutan prioritasnya.
e. Mengumpulkan kembali urutan prioritas
menurut peserta, dan menyampaikan hasil akhir prioritas keputusan dari seluruh peserta
yang dimintai pendapatnya.
4. Workshop
Workshop
atau lokakarya merupakan salah satu
metode yang dapat ditempuh pengawas dalam melakukan supervisi
manajerial. Metode ini tentunya bersifat kelompok dan dapat melibatkan beberapa
kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan/atau perwakilan komite sekolah.
Penyelenggaraan workshop ini tentu disesuaikan dengan tujuan atau urgensinya,
dan dapat diselenggarakan bersama dengan Kelompok Kerja Kepala Sekolah atau
orga- nisasi sejenis lainnya. Sebagai
contoh, pengawas dapat mengambil inisiatif untuk mengadakan workshop tentang
pengembangan KTSP, sistem ddministrasi, peran serta masyarakat, sistem penilaian
dan sebagainya.
B. Supervisi Akademik
Di muka telah dijelaskan bahwa
supervisi akademik ditujukan untuk membantu guru meningkatkan pembelajaran,
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan belajar siswa. Sesuai dengan
tujuannya tersebut maka istilah yang sering digunakan adalah supervisi
pengajaran (instructional supervision).
Terdapat beberapa metode dan teknik supervisi yang
dapat dilakukan pengawas. Metode-metode tersebut dibedakan antara yang bersifat
individual dan kelompok. Pada setiap metode supervisi tentunya terdapat
kekuatan dan kelamahan.
Ada bermacam-macam teknik supervisi akademik dalam
upaya pembi- naan kemampuan guru. Dalam hal ini meliputi pertemuan staf,
kunjungan supervisi, buletin profesional, perpustakaan profesional,
laboratorium kuriku- lum, penilaian guru, demonstrasi pembelajaran,
pengembangan kurikulum, pengambangan petunjuk pembelajaran, darmawisata,
lokakarya, kunjungan antarkelas, bacaan profesional, dan survei
masyarakat-sekolah. Sedangkan menurut Gwyn, teknik-teknik supervisi itu bisa
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu. teknik supervisi individual,
danteknik supervisi kelompok.
Teknik
supervisi individual di sini adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada
guru tertentu yang mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan. Supervisor
di sini hanya berhadapan dengan seorang guru yang dipandang memiliki persoalan
tertentu. Teknik-teknik supervisi yang dikelompokkan sebagai teknik individual
meliputi: kunjungan kelas, observasi kelas, pertemuan individual, kunjungan
antarkelas, dan menilai diri sendiri. Berikut ini dijelaskan pengertian-pengertian
dasarnya secara singkat satu persatu.
a. Kunjungan Kelas
Kunjungan
kelas adalah teknik pembinaan guru oleh kepala sekolah, pengawas, dan pembina
lainnya dalam rangka mengamati pelaksanaan proses belajar mengajar sehingga
memperoleh data yang diperlukan dalam rangka pembinaan guru. Tujuan kunjungan
ini adalah semata-mata untuk menolong guru dalam mengatasi kesulitan atau
masalah mereka di dalam kelas. Melalui kunjungan kelas, guru-guru dibantu
melihat dengan jelas masalah-masalah yang mereka alami. Menganalisisnya secara
kritis dan mendorong mereka untuk menemukan alternatif pemecahannya. Kunjungan
kelas ini bisa dilaksanakan dengan pemberitahuan atau tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu, dan bisa juga atas dasar undangan dari guru itu sendiri.
Ada
empat tahap kunjungan kelas. Pertama, tahap persiapan. Pada tahap ini,
supervisor merencanakan waktu, sasaran, dan cara mengobservasi selama kunjungan
kelas. Kedua, tahap pengamatan selama kunjungan. Pada tahap ini, supervisor
mengamati jalannya proses pembelajaran berlangsung. Ketiga, tahap akhir
kunjungan. Pada tahap ini, supervisor
bersama guru mengadakan perjanjian untuk membicarakan hasil-hasil observasi,
sedangkan tahap terakhir adalah tahap tindak lanjut. Ada beberapa kriteria
kunjungan kelas yang baik, yaitu: (1) memiliki tujuan-tujuan tertentu; (2)
mengungkapkan aspek-aspek yang dapat memperbaiki kemampuan guru; (3)
menggunakan instrumen observasi tertentu untuk mendapatkan daya yang obyektif;
(4) terjadi interaksi antara pembina dan yang dibina sehingga menimbulkan sikap
saling pengertian; (5) pelaksanaan kunjungan kelas tidak menganggu proses
belajar mengajar; (6) pelaksanaannya diikuti dengan program tindak lanjut
b.
Observasi Kelas
Observasi
kelas secara sederhana bisa diartikan melihat dan memperhatikan secara teliti
terhadap gejala yang nampak. Observasi kelas adalah teknik observasi yang
dilakukan oleh supervisor terhadap proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
Tujuannya adalah untuk memperoleh data seobyektif mungkin mengenai aspek-aspek
dalam situasi belajar mengajar, kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru
dalam usaha memperbaiki proses belajar mengajar. Secara umum, aspek-aspek yang
diamati selama proses pembelajaran yang sedang berlangsung adalah:
1) usaha-usaha dan aktivitas guru-siswa dalam proses pembelajaran
2) cara penggunaan media pengajaran
3)
reaksi mental para siswa dalam proses belajar mengajar
4) keadaan media pengajaran yang dipakai dari segi materialnya.
Pelaksanaan
observasi kelas ini melalui beberapa tahap, yaitu: (1) persiapan observasi
kelas; (2) pelaksanaan observasi kelas; (3) penutupan pelaksanaan observasi
kelas; (4) penilaian hasil observasi; dan (5) tindak lanjut. Dalam melaksanakan
observasi kelas ini, sebaiknya supervisor menggunakan instrumen observasi
tertentu, antara lain berupa evaluative
check-list, activity check-list.
c. Pertemuan Individual
Pertemuan individual adalah satu pertemuan, percakapan,
dialog, dan tukar pikiran antara pembina atau supervisor guru, guru dengan guru, mengenai usaha
meningkatkan kemampuan profesional guru. Tujuannya adalah: (1) memberikan
kemungkinan pertumbuhan jabatan guru melalui pemecahan kesulitan yang dihadapi;
(2) mengembangkan hal mengajar yang lebih baik; (3) memperbaiki segala
kelemahan dan kekurangan pada diri guru; dan (4) menghilangkan atau menghindari
segala prasangka yang bukan-bukan.
Swearingen
(1961) mengklasifikasi jenis percakapan individual ini menjadi empat macam
sebagai berikut
a.
classroom-conference,
yaitu percakapan individual yang dilaksanakan di dalam kelas ketika murid-murid
sedang meninggalkan kelas (istirahat).
b.
office-conference.
Yaitu percakapan individual yang dilaksanakan di ruang kepala sekolah atau
ruang guru, di mana sudah dilengkapi dengan alat-alat bantu yang dapat
digunakan untuk memberikan penjelasan pada guru.
c.
causal-conference. Yaitu percakapan individual
yang bersifat informal, yang dilaksanakan secara kebetulan bertemu dengan guru
d.
observational visitation. Yaitu percakapan individual yang dilak- sanakan
setelah supervisor melakukan kunjungan kelas atau observasi kelas
Dalam
percakapan individual ini supervisor harus berusaha mengem- bangkan segi-segi
positif guru, mendorong guru mengatasi kesulitan-kesulitannya, dan memberikan
pengarahan, hal-hal yang masih meragukan sehingga terjadi kesepakatan konsep
tentang situasi pembelajaran yang sedang dihadapi.
d. Kunjungan Antar Kelas
Kunjungan
antarkelas dapat juga digolongkan sebagai teknik supervisi secara perorangan.
Guru dari yang satu berkunjung ke kelas yang lain dalam lingkungan sekolah itu
sendiri. Dengan adanya kunjungan antarkelas ini, guru akan memperoleh
pengalaman baru dari teman sejawatnya mengenai pelaksanaan proses pembelajaran
pengelolaan kelas, dan sebagainya.
Agar
kunjungan antarkelas ini betul-betul bermanfaat bagi pengem- bangan kemampuan
guru, maka sebelumnya harus direncanakan dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh supervisor apabila menggunakan teknik ini
dalam melaksanakan supervisi bagi guru-guru.
a.
Guru-guru
yang akan dikunjungi harus diseleksi dengan sebaik-baiknya. Upayakan mencari
guru yang memang mampu memberikan pengalaman baru bagi guru-guru yang akan
mengunjungi.
b.
Tentukan
guru-guru yang akan mengunjungi.
c.
Sediakan
segala fasilitas yang diperlukan dalam kunjungan kelas.
d.
Supervisor
hendaknya mengikuti acara ini dengan cermat. Amatilah apa-apa yang ditampilkan
secara cermat, dan mencatatnya pada format-format tertentu.
e.
Adakah
tindak lanjut setelah kunjungan antarkelas selesai. Misalnya dalam bentuk
percakapan pribadi, penegasan, dan pemberian tugas-tugas tertentu.
f.
Segera
aplikasikan ke sekolah atau ke kelas guru bersangkutan, dengan menyesuaikan
pada situasi dan kondisi yang dihadapi.
g.
Adakan
perjanjian-perjanjian untuk mengadakan kunjungan antar kelas berikutnya.
e. Menilai Diri Sendiri
Menilai
diri sendiri merupakan satu teknik individual dalam supervisi pendidikan.
Penilaian diri sendiri merupakan satu teknik pengembangan profesional guru
(Sutton, 1989). Penilaian diri sendiri memberikan informasi secara obyektif
kepada guru tentang peranannya di kelas dan memberikan kesempatan kepada guru
mempelajari metoda pengajarannya dalam mempengaruhi murid (House, 1973). Semua
ini akan mendorong guru untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya (DeRoche,
1985; Daresh, 1989; Synder & Anderson, 1986).
Nilai
diri sendiri merupakan tugas yang tidak mudah bagi guru. Untuk mengukur
kemampuan mengajarnya, di samping menilai murid-muridnya, juga menilai dirinya
sendiri. Ada beberapa cara atau alat yang dapat digunakan untuk menilai diri
sendiri, antara lain sebagai berikut.
Suatu daftar pandangan atau pendapat yang disampaikan kepada murid-murid
untuk menilai pekerjaan atau suatu aktivitas. Biasanya disusun dalam bentuk
pertanyaan baik secara tertutup maupun terbuka, dengan tidak perlu menyebut
nama.
Menganalisa tes-tes terhadap unit kerja.
Mencatat aktivitas murid-murid dalam suatu catatan, baik mereka bekerja
secara perorangan maupun secara kelompok.
Teknik supervisi kelompok adalah satu cara melaksanakan
program supervisi yang ditujukan pada dua orang atau lebih. Guru-guru yang
diduga, sesuai dengan analisis kebutuhan, memiliki masalah atau kebutuhan atau
kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan menjadi
satu/bersama-sama. Kemudian kepada mereka diberikan layanan supervisi sesuai
dengan permasalahan atau kebutuhan yang mereka hadapi. Menurut Gwynn, ada tiga
belas teknik supervisi kelompok, sebagai berikut.
a) Kepanitiaan-kepanitiaan
b) Kerja kelompok
c) Laboratorium kurikulum
d) Baca terpimpin
e) Demonstrasi pembelajaran
f) Darmawisata
g) Kuliah/studi
h) Diskusi panel
i)
Perpustakaan
jabatan
j)
Organisasi
profesional
k) Buletin supervisi
l)
Pertemuan guru
m) Lokakarya atau konferensi kelompok
Teknik
supervisi kelompok ini tidak akan dibahas satu persatu, karena sudah banyak
buku yang secara khusus membahasnya. Satu hal yang perlu ditekankan di sini
bahwa tidak ada satupun di antara teknik-teknik supervisi kelompok di atas yang
cocok atau bisa diterapkan untuk semua pembinaan dan guru di sekolah. Artinya,
akan ditemui oleh kepala sekolah adanya satu teknik tertentu yang cocok diterapkan
untuk membina seorang guru tetapi tidak cocok diterapkan pada guru lain. Oleh
sebab itu, seorang kepala sekolah harus mampu menetapkan teknik-teknik mana
yang sekiranya mampu membina keterampilan pembelajaran seorang guru.
Menetapkan teknik-teknik supervisi akademik yang tepat
tidaklah mudah. Seorang pengawas ,
selain harus mengetahui aspek atau bidang keterampilan yang akan dibina, juga
harus mengetahui karakteristik setiap teknik di atas dan sifat atau kepribadian
guru, sehingga teknik yang digunakan betul-betul sesuai dengan guru yang sedang
dibina melalui supervisi akademik. Sehubungan dengan kepribadian guru, Lucio
dan McNeil (1979) menyarankan agar kepala sekolah mempertimbangkan enam faktor
kepribadian guru, yaitu kebutuhan guru, minat guru, bakat guru, temperamen
guru, sikap guru, dan sifat-sifat somatic
guru.
Ada lima langkah pembinaan kemampuan guru melalui supervisi
akademik, yaitu: (1) menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis, (2) analisis
kebutuhan, (3) mengembangkan strategi dan media, (4) menilai, dan (5) revisi
a.
Menciptakan Hubungan yang Harmonis.
Langkah pertama dalam pembinaan keterampilan pembelajaran
guru adalah menciptakan hubungan yang harmonis antara pengawas dan guru, serta
semua pihak yang terkait dengan program pembinaan keterampilan pembelajaran
guru. Dalam upaya melaksanakan supervisi akademik memang diperlukan kejelasan
informasi antar personil yang terkait. Tanpa kejelasan informasi, guru akan
kebingungan, tidak tahu yang diharapkan kepala sekolah, dan meyakini bahwa
tujuan pokok dalam pengukuran kemampuan guru, sebagai langkah awal setiap
pembinaan keterampilan pembelajaran melalui supervisi akademik, adalah hanya
untuk mengidentifikasi guru yang baik dan yang
kurang terampil dalam mengajar. Padahal seandainya ada kejelasan
informasi, tentu tidak akan terjadi guru yang demikian.
Komunikasi
antara kepala sekolah dan guru dikatakan efektif apabila guru benar-benar
menerima supervisi akademik sebagai upaya pembinaan kemampuannya. Dalam upaya
ini, diperlukan kejelasan informasi mengenai hakikat dan tujuan supervisi
akademik. Dalam upaya memperjelas program supervisi akademik, tentu diperlukan
suatu cara dan prinsip-prinsip tertentu dalam berkomunikasi. Bagaimanakah
berkomunikasi secara efektif. Ada sejumlah prinsip komunikasi yang harus
diterapkan oleh kepala sekolah, sebagaimana dikemukakan oleh Marks, Stoops dan
Stoops, sebagai berikut.
1)
Berbicaralah sebijaksana dan sebaik mungkin
2) Ikutilah pembicaraan orang lain secara
saksama
3)
Ciptakan hubungan interpersonal antar personil
4)
Berpikirlah sebelum berbicara
5)
Ikutilah norma-norma yang berlaku pada latar sekolah
6)
Usahakanlah untuk memahami pendapat orang lain
7)
Konsentrasikan pada pesanmu, bukan pada dirimu sendiri
8)
Kumpulkan materi untuk mengadakan diskusi bila perlu
9)
Persingkat pembicaraan
10) Ciptakan
ketidaksanggupan
11) Bersemangatlah
12) Raihlah sikap orang lain untuk membantu
program
13) Berkomunikasilah
dengan “eye communication”
14) Selalu
mencoba
15) Jadilah
pendengar yang baik
16) Ketahuilah
kapan sebaiknya berhenti berkomunikasi
b. Analisis Kebutuhan
Sebagai
langkah kedua dalam pembinaan keterampilan pengajaran guru adalah analisis
kebutuhan (needs assessment). Secara
hakiki, analisis kebutuhan merupakan upaya menentukan perbedaan antara
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipersyaratkan dan yang secara nyata
dimiliki. Prinsip supervisi pengajaran yang ketujuh, sebagaimana telah
dikemukakan di muka, adalah obyektif, artinya dalam penyusunan program
supervisi pengajaran harus didasarkan pada kebutuhan nyata pengembangan
profesional guru. Dalam upaya memenuhi prinsip ini diperlukan analisis
kebutuhan tentang keterampilan pengajaran guru yang harus dikembangkan melalui
supervisi pengajaran. Adapun langkah-langkah menganalisis kebutuhan sebagai
berikut.
1)
Mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pendidikan – perbedaan (gap) apa saja
yang ada antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang nyata dimiliki guru
dan yang seharusnya dimiliki guru? Perbedaan di kelompok, disintesiskan,
dan diklasifikasi.
2) Mengidentifikasi lingkungan dan
hambatan-hambatannya.
3) Menetapkan tujuan umum jangka panjang.
4)
Mengidentifikasi tugas-tugas manajemen yang dibutuhkan
fase ini, seperti keuangan, sumber-sumber, perlengkapan dan media.
5)
Mencatat prosedur-prosedur untuk mengumpulkan informasi
tambahan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki guru.
Pergunakanlah teknik-teknik tertentu, seperti mengundang konsultan dari luar
sekolah, wawancara, dan kuesioner.
6)
Mengidentifikasi dan mencatat kebutuhan-kebutuhan khusus
pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Pergunakanlah kata-kata perilaku atau
performansi.
7)
Menetapkan kebutuhan-kebutuhan pembinaan keterampilan
pembelajaran guru yang bisa dibina melalui teknik dan media selain pendidikan.
8)
Mencatat dan memberi kode kebutuhan-kebutuhan pembinaan
keterampilan pembelajaran guru yang akan dibina melalui cara-cara lainnya.
c. Pelaksanaan Supervisi Akademik
Setelah
tujuan-tujuan pembinaan keterampilan pengajaran berdasarkan kebutuhan-kebutuhan
pembinaan yang diperoleh melalui analisis kebutuhan di atas, kepala sekolah
menganalisis setiap tujuan untuk menentukan bentuk-bentuk teknik dan media
supervisi akademik yang akan digunakan. Menurut Gwynn (1961), teknik-teknik
supervisi bila dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu teknik supervisi
individual dan teknik supervisi kelompok. Tujuan pengembangan strategi dan
media supervisi akademik ini adalah sebagai berikut.
1)
Mendaftar pembinaan-pembinaan keterampilan pengajaran
yang akan dilakukan dengan menggunakan teknik supervisi individual.
2)
Mendaftar pembinaan keterampilan pengajaran yang akan
dilakukan melalui teknik supervisi kelompok.
3)
Mendaftar mengidentifikasi dan memilih teknik dan media
supervisi yang siap digunakan untuk membina keterampilan pengajaran guru yang
diperlukan.
Setelah mengembangkan teknik dan media
supervisi akademik, mulailah dilakukan pembinaan keterampilan pembelajaran guru
dengan menggunakan teknik dan media tertentu sebagaimana telah dikembangkan.
Mengenai teknik-teknik supervisi, baik yang individual maupun kelompok, dan
medianya akan diuraikan secara khusus pada akhir bab ini.
Penilaian Keberhasilan Supervisi Akademik
Penilaian merupakan proses sistematik untuk
menentukan tingkat keberhasilan yang dicapai. Dalam konteks supervisi akademik,
penilaian merupakan proses sistematik untuk menentukan tingkat keberhasilan
yang dicapai dalam pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Tujuan penilaian
pembinaan keterampilan pembelajaran adalah untuk: (1) menentukan apakah pengajar (guru) telah
mencapai kriteria pengukuran sebagaimana dinyatakan dalam tujuan pembinaan, dan
(2) untuk menentukan validitas teknik pembinaan dan komponen-komponennya dalam
rangka perbaikan proses pembinaan berikutnya.
Prinsip dasar dalam merancang dan
melaksanakan program penilaian adalah bahwa penilaian harus mengukur
performansi atau perilaku yang dispesifikasi pada tujuan supervisi akademik
guru. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
1) Katakan dengan jelas teknik-teknik
penilaian.
2)
Tulislah masing-masing tujuan.
3)
Pilihlah atau kembangkan instrumen-instrumen pengukuran
yang secara efektif bisa menilai hasil yang telah dispesifikasi.
4) Uji lapangan untuk mengetahui
validitasnya.
5) Organisasikan, analisis, dan rangkumlah
hasilnya.
Perbaikan Program Supervisi
Akademik
Sebagai langkah terakhir dalam pembinaan
keterampilan pengajaran guru adalah merevisi program pembinaan. Revisi ini
dilakukan seperlunya, sesuai dengan hasil penilaian yang telah dilakukan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
a.
Me-review
rangkuman hasil penilaian.
b.
Apabila ternyata tujuan pembinaan keterampilan
pengajaran guru tidak dicapai, maka sebaiknya dilakukan penilaian ulang
terhadap pengetahuan, keterampilan dan sikap guru yang menjadi tujuan
pembinaan.
c.
Apabila ternyata memang tujuannya belum tercapaim maka
mulailah merancang kembali program supervisi akademik guru untuk masa
berikutnya.
d.
Mengimplementasikan program pembinaan yang telah
dirancang kembali pada masa berikutnya.
Dalam setiap pembinaan keterampilan pembelajaran guru dengan
menggunakan teknik supervisi akademik tertentu diperlukan media, sarana, maupun
sumber-sumber tertentu. Apabila digunakan teknik buletin supervisi dalam
membina keterampilan pembelajaran guru, maka diperlukan buletin sebagai media
atau sumbernya. Apabila digunakan teknik darmawisata dan membina guru maka
diperlukan tempat tertentu sebagai sumber belajarnya. Apabila digunakan
perpustakaan jabatan sebagai pusat pembinaan keterampilan pembelajaran guru
maka diperlukan buku-buku, ruang khusus, dan sarana khusus, sebagai sarana dan
sumber belajar. Demikianlah seterusnya untuk teknik-teknik supervisi akademik
lainnya, semuanya memerlukan media, sarana, dan sumber sebagai penunjang
pelaksanaannya.
Pada bab awal telah ditegaskan bahwa esensial supervisi
akademik itu sama sekali bukan mengukur unjuk kerja guru dalam mengelola proses
pembelajaran, melainkan bagaimana membantu guru mengembangkan kemampuan
profesionalnya. Meskipun demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas dari
pengukuran kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran. Pengukuran
kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran merupakan salah satu
kegiatan yang tidak bisa dihindarkan dalam proses supervisi pembelajaran
(Sergiovanni, 1987). Prinsip dasar ini tampak jelas sekali pada langkah-langkah
pembinaan keterampilan pembelajaran guru. Menurut Marks, Stoops dan Stoops,
sebagaimana telah dibahas di muka, di mana salah satu langkahnya berupa
analisis kebutuhan. Esensial langkah atau fase analisis kebutuhan ini adalah
mengukur pengetahuan dan kemampuan untuk menentukan pengetahuan dan kemampuan
mana pada guru yang harus dibina. Ini berarti dalam setiap merencanakan dan
memprogram supervisi akademik selalu diperlukan instrumen pengukuran.
Instrumen
pengukuran ini, baik pengetahuan maupun kemampuan, bila berupa tes-tes tertentu
yang secara valid dan reliabel bisa mengukur pengetahuan dan kemampuan guru
dalam mengelola proses pembelajaran. Khusus untuk mengukur kemampuan guru,
karena lebih berbentuk performansi atau perilaku (behavioral), biasanya digunakan instrumen observasi yang mengamati
unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran. Instrumen ini banyak
diambil dari yang sudah ada, yang sudah valid dan reliabel, maupun dikembangkan
sendiri oleh supervisor. Apabila kepala sekolah ingin mengembangkan sendiri
instrumen observasi maka disarankan agar merujuk kepada jenis-jenis kemampuan
pembelajaran yang menang harus dimiliki oleh guru. Setiap jenis kemampuan yang
dikembangkan dalam instrumen observasi harus disediakan skala pengukuran. Ada
bermacam-macam skala pengukuran, misalnya skala tigas, skala lima, dan skala
tujuh. Apabila digunakan skala tiga, maka bentuknya menjadi tidak mampu (1)
cukup mampu (2) dan mampu (3). Apabila diguna- kan skala lima, maka bentuknya
menjadi sangat kurang mampu (1) kurang mampu (2) cukup mampu (3) mampu (4) dan
sangat mampu (5). Nantinya apabila telah digunakan, maka semakin kecil skor
kemampuannya (kategori kemampuannya) berarti semakin perlu dibina. Semakin
rendah skornya berarti guru semakin tidak mampu mengelola proses pembelajaran.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pernah mengembangkan satu instrumen pengukuran yang disebut dengan Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG ini merupakan instrumen yang kembangkan dan resmi digunakan untuk mengukur kemampuan guru yang bersifat generic essensial. Dikatakan generic karena kemampuan tersebut secara umum harus dimiliki oleh setiap guru bidang studi apapun. Dikatakan essential karena kemampuan tersebut merupakan kemampuan-kemampuan yang penting saja. Ini tidak berarti bahwa kemampuan yang lain tidak perlu melainkan masih sangat diperlukan hanya harus diukur melalui instrumen lainnya (Depdikbud, 1982).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar