04 Januari 2008

Bahan Alam, Ujung Tombak Riset Kimia di Indonesia

Kategori Liputan
Bahan Alam,
Ujung Tombak Riset Kimia di Indonesia

Oleh Sinly Evan Putra
Asisten II Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Kimia Indonesia


Tak salah rasanya Badan Pengurus Pusat (BPP) Ikatan Himpunan Mahasiswa Kimia Indonesia menunjuk kota Yogyakarta dengan panitia pelaksana adalah dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai tempat pelaksanaan Kimia Expo dan Musyawarah Tahunan Ikahimki. Rangkaian kegiatan yang meliputi Seminar Nasional Kimia, Musyawarah Tahunan, Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional (LKTI-TN) dan Workshop Kewirausahaan ini sangat menarik untuk saya ikuti terutama pada Seminar Nasional Kimia, LKTI dan Workshop Kewirausahaan yang hampir semuanya dapat saya simpulkan sebagai kegiatan yang berbasis kajian pemanfaatan bahan alam.

Kembali saya teringat pada ucapan Prof. Dr. Syamsul Arifin Achmad, BSc (Hons I) (Dewan Pelindung Ikahimki) pada suatu seminar kimia bahan alam yang diadakan di Universitas Airlangga pada September 2004, beliau mengatakan bahwa kebijakan riset dan teknologi di Amerika Serikat (AS) diarahkan pada aspek komunikasi dan informasi, Jepang pada manufacture sedangkan di Indonesia terletak pada keanekaragaman hayati dengan modal dasarnya adalah dari pengakuan dunia bahwa negara Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Brasil dalam hal keanekaragaman hayati terutama jenis tumbuh-tumbuhan.

Pendapat Prof. Syamsul diatas mungkin memang tak salah, sebab Indonesia menurut Jeffrey (1992) merupakan salah satu negara yang kaya akan jenis tumbuhan yang diperkirakan mencapai sekitar 25.000 jenis atau lebih dari 10 % dari jenis flora dunia. Ditambah dengan jumlah jenis lumut dan gangang yang berjumlah ± 35.000 jenis dimana 40 % diantaranya merupakan jenis yang endemik atau hanya terdapat di Indonesia saja. Dengan tingginya kekayaan alam yang dimiliki Indonesia itu yang dilihat dari keanekaragaman tumbuhan yang ada, memungkinkan untuk ditemukannya beraneka jenis senyawa kimia, walaupun beberapa senyawa kimia itu telah banyak ditemukan tetapi berdasarkan sejarah penemuan dan pengembangan telah membuktikan bahwa peluang untuk terjadinya temuan-temuan baru adalah sangat besar. “Sebab semakin tinggi tingkat evolusi dari suatu tanaman, maka keanekaragaman molekul dari tumbuhan tersebut juga beragam” ujar Prof. Syamsul pada suatu waktu. Berdasarkan hal itu, sebagai negara yang termasuk negara mega biodiversity maka riset kimia bahan alam telah menjadi ujung tombak penelitian para ahli kimia Indonesia.

Kimia Bahan Alam
Sebenarnya pengertian dari senyawa bahan alam sendiri adalah hasil metabolisme suatu organisme hidup (tumbuhan, hewan, sel) berupa metabolit primer dan sekunder. Sedangkan pengertian dari kimia bahan alam merupakan salah satu cabang ilmu kimia yang membahas tentang senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tanaman atau hewan. Sebenarnya senyawa kimia yang biasa kita jumpai seperti karbohidrat, lipid, vitamin dan asam nukleat termasuk dalam bahan alam, namun ahli kimia memberikan arti yang lebih sempit tentang istilah bahan alam yakni senyawa kimia yang berkaitan dengan metabolit sekunder saja seperti alkaloid, terpenoid, golongan fenol, feromon dan sebagainya.

Senyawa-senyawa metabolit sekunder itu, meskipun tidak sangat penting bagi eksistensi suatu individu, tetapi sering berperan bagi kelangsungan hidup suatu spesies dalam perjuangan menghadapi spesies-spesies lain. Sebagai contoh pada tumbuhan, senyawa metabolit sekunder biasa digunakan sebagai senjata penangkal serangan hama dan penyakit. Sedangkan pada hewan, senyawa metabolit sekunder seperti feromon digunakan sebagai zat penarik sex. Sejauh ini telah diketahui bahwa tumbuhan memproduksi senyawa metabolit sekunder lebih banyak dibandingkan hewan. Beberapa topik yang menarik dalam kimia bahan alam menurut Dr. rer.nat. Sri Mulyani, MSi (Staf Pengajar PS. Pendidikan Kimia UNS) pada Seminar Nasional Kimia di UNY adalah :

1. Isolasi, penentuan struktur, sintesis dan biosintesis senyawa organik bahan alam.
2. Sifat dan fungsi biologis senyawa alam meliputi aspek farmakologi dan biokimia.
3. Minyak atsiri dan rempah-rempah.
4. Pengembangan metode analisis dan aplikasinya pada bahan alam.
5. Bioteknologi termasuk kultur jaringan atau sel dalam produksi senyawa alam, rekayasa DNA, serta teknologi tumbuhan obat dan rempah.
6. Pengunaan bahan alam dalam media pembelajaran.

Peranan Senyawa Bahan Alam
Peranan senyawa bahan alam bagi manusia tidak terlepas dari tinjauan sejarah kajian riset kimia bahan alam itu sendiri, yang telah sejak lama dilakukan oleh manusia. Karl Wilhelm Schele (1742-1786) merupakan ahli kimia pertama yang berhasil melakukan pemisahan (isolasi) senyawa kimia dari bahan alam seperti gliserol, asam-asam oksalat, laktat, tartarat dan sitrat. Selanjutnya diikuti Frederich W. Serturner (1783-1841) yang memisahkan morfina dari opium dan Pelletier serta caventon yang berhasil memisahkan strihina, brusina, kuinin, sinkonina, dan kafein lima belas tahun kemudian. Untuk pemisahan beribu-ribu senyawa kimia yang lain dari bahan alam segera menyusul dan terus berjalan sampai sekarang.

Senyawa-senyawa metabolit sekunder yang telah berhasil diisolasi, oleh manusia selanjutnya didayagunakan sebagai bahan obat seperti morfin sebagai obat nyeri, kuinin sebagai obat malaria, reserpin sebagai obat penyakit tekanan darah tinggi dan vinkristin serta vinblastin sebagai obat kanker. Selain sebagai bahan obat, senyawa metabolit sekunder juga didayagunakan oleh manusia untuk menunjang kepentingan industri seperti industri kosmetik dan industri pembuatan pestisida dan insektisida. Untuk di Indonesia, pemanfaatan senyawa bahan alam yang ditemukan para peneliti Indonesia sebagai bahan baku obat antara lain Itebein sebagai anti tumor, Artoindonesianin sebagai anti malaria, Diptoindonesin, Indonesiol serta banyak lagi. Sedangkan potensi lain yang sedang dikembangkan peneliti Indonesia untuk menunjang kepentingan industri adalah potensi bahan alam sebagai penghasil minyak atsiri. Menurut Prof. Hardjono Sastrohamidjojo (Guru Besar UGM) dalam Workshop Kewirausahaan di Auditorium FMIPA UGM pada 27 September 2005, beliau mengatakan bahwa Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor minyak atsiri yang besar di dunia. Kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam bahan alam (daun, batang, akar, biji) untuk minyak atsiri dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok pertama; minyak atsiri yang komponen-komponennya mudah dipisahkan yang kemudian menjadi bahan awal sintesis (minyak sereh, minyak daun cengkeh, minyak permen, dan minyak terpentin) dan kelompok kedua; minyak atsiri yang komponen-komponennya tidak mudah dipisah (minyak akar wangi, minyak nilam, minyak cendana, minyak kenanga), dimana minyak atsiri ini dapat langsung digunakan. Komponen senyawa kimia utama dari kedua kelompok tersebut sebagian dapat dilihat pada tabel berikut :
No Tumbuhan/pohon Bagian tanaman Minyak atsiri Komponen Utama
1. Pohon Cengkeh Bunga/daun Minyak Cengkeh Eugenol
2. Tanaman Sereh Daun Minyak Sereh Sitronelal, sitronelol, geraniol
3. Pohon Pinus Kulit/batang/getah Minyak Terpentin Terpentin α-pinen
4. Tanaman nilam Daun Minyak Nilam Patchouli alkohol
5. Pohon Kenanga Bunga Minyak Kenanga Ester
6. Tanaman Adas Biji Minyak Adas Anetol, estragol, fenson

Sumber : Hardjono Sastrohamodjojo, 2005


Peluang Penelitian Bahan Alam
Senyawa metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia yang tidak akan pernah habis, sebagai sumber inovasi dalam penemuan dan pengembangan obat-obat baru ataupun untuk menujang berbagai kepentingan industri. Hal ini terkait dengan keberadaannya di alam yang tidak terbatas jumlahnya. Sejalan dengan hal itu dan diikuti oleh keberadaan organisme yang juga tidak terbatas jumlahnya, maka topik penelitian bahan alam juga tidak akan pernah habis. Ini didukung pula oleh fakta bahwa di muka bumi ini terdapat lebih kurang 250.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi, akan tetapi tidak lebih dari 0,4 % dari jumlah tumbuhan tersebut telah diselidiki oleh peneliti untuk berbagai kepentingan. Sebagian besar dari penelitian itupun masih sangat dangkal sifatnya atau belum menyeluruh, lagi pula terbatas pada tumbuhan yang terdapat di daerah beriklim sedang. Dari 250.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi seperti dikemukan di atas 54 % diantaranya terdapat di hutan-hutan tropika dan Indonesia dengan hutan tropikanya yang mengandung lebih dari 30.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi sangat berpotensial untuk diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti Indonesia.

Penelitian bahan alam biasanya dimulai dari ekstraksi, isolasi dengan metode kromatografi sehingga diperoleh senyawa murni, identifikasi unsur dari senyawa murni yang diperoleh dengan metode spektroskopi, dilanjutkan dengan uji aktivitas biologi baik dari senyawa murni ataupun ekstrak kasar. Setelah diketahui struktur molekulnya biasanya dilanjutkan dengan modifikasi struktur untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas dan kestabilan yang diinginkan. Disamping itu dengan kemajuan bidang bioteknologi, dapat juga dilakukan peningkatan kualitas tumbuhan atau organisme melalui kultur jaringan atau pembentukan menjadi tumbuhan transgenik yang tentunya juga akan menghasilkan berbagai jenis senyawa metabolit sekunder baru yang beraneka ragam dan mungkin juga dengan struktur molekul yang berbeda dengan yang ditemukan dari tumbuhan awalnya. Dengan demikian peluang penelitian dalam bidang bahan alam adalah juga tidak terbatas.

Pengembangan potensi bahan alam untuk di kembangkan di Indonesia didukung juga oleh kebijakan dan program riset dan teknologi (ristek) dari pemerintah dimana Kementrian Riset dan Teknologi telah menetapkan 6 (enam) Bidang Prioritas Riset dan Teknologi Nasional untuk tahun 2004-2009 yakni di bidang ketahanan pangan, ketersediaan energi, sistem transportasi nasional, teknologi informasi dan komunikasi, pertahanan dan keamanan dan pembangunan kesehatan. Bidang-bidang prioritas itu oleh lembaga pelaksana teknis diterjemahkan menjadi rencana strategis.
Beberapa lembaganya antara lain LIPI, BATAN dan BPPT.

LIPI melalui pusat penelitian kimia terapan mengembangkan antara lain; penelitian kimia, bahan alam, jasa penelitian di bidang kimia bahan alam dan farmasi dengan memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan farmasi dan kosmetika, penelitian fitofarmaka untuk indikasi anti kanker, isolasi senyawa aktif dari tanaman obat. BATAN mengembangkan pemanfaatan teknologi nuklir untuk penelitian dan pengembangan obat sedangan BPPT dengan program risetnya yang bertema Pengembangan Teknologi Produksi Obat dan Pangan Fungsional dari Sumber Daya Hayati. Disini peran perguruan tinggi sebagai “Centre of Excellence” juga sangat diperlukan. Diharapkan Perguruan Tinggi mampu mengembangkan prilaku ilmiah yang meliputi Scholarship of Discovery, Scholarship of Teaching, Scholarship of Application, Scholarship of Integration dan Scholarship of Engagement untuk menunjang pengembangan pemanfaatan bahan alam Indonesia.

Menilik pada peluang dan kesempatan yang terbuka luas bagi para peneliti Indonesia untuk mengkaji pemanfaatan bahan alam sebagaimana telah diuraikan diatas, maka secara tidak langsung telah membuka pintu bagi bangsa Indonesia untuk terangkat harkat dan martabatnya ke tingkat yang lebih tinggi. Sebab apabila dari setiap 100?1000 jenis tumbuhan dapat ditemukan satu saja senyawa kimia untuk obat maka keuntungan dari penjualan obat akan berkisar antara 10-30 juta dolar US per tahun, untuk masa 15 tahun lamanya, belum lagi apabila senyawa kimia tersebut didayagunakan untuk kepentingan industri yang lainnya. Dengan kata lain, Indonesia adalah gudang bagi bahan-bahan kimia yang belum ditemukan dan tidak ternilai harganya baik untuk masa kini maupun masa depan. Hal ini ditunjang pula bahwa senyawa kimia yang dihasilkan oleh suatu jenis tumbuhan sangat berbeda dari yang dihasilkan oleh jenis yang lain, yang juga berbeda bergantung pada lokasi di mana ia tumbuh dan berbeda pula antara tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi dan tumbuh-tumbuhan tingkat rendah seperti jamur, lumut dan mikroorganisme yang tumbuh di darat maupun di laut.

Jadi sekali lagi dapat diungkapkan disini bahwa keanekaragaman hayati Indonesia merupakan harta karun yang tak ternilai besarnya bagi bangsa Indonesia yang harus terus dilestarikan dan dimanfaatkan secara arif dan bijaksana agar tidak mengalami kepunahan. Disini riset kimia bahan alam menjadi ujung tombak para peneliti Indonesia untuk mengeksplorasi potensi sumber daya alam untuk kemaslahatan kehidupan bangsa dan negara.


Daftar Pustaka

Achmad, Syamsul Arifin. 2002. Pelestarian dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Peradaban Umat Manusia. Kumpulan Artikel pada Buku Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta

Achmad, Syamsul Arifin. 2004. Bahan Alam untuk Mendukung Pengembangan Bioindustri. Makalah pada Seminar Nasional Kimia Bahan Alam Unair dan Ikahimki pada 4 September 2004. Surabaya

Atun, Sri. 2005. Pengembangan Potensi Bahan alam sebagai Sumber Penemuan Obat Baru. Makalah pada Seminar Nasional Kimia UNY dan Ikahimki pada 24 September 2005. Yogyakarta

Effendi. 2005. Profile PT. Indesso Aroma. Makalah pada Workshop Kewirausahaan UGM dan Ikahimki pada 27 September 2005. Yogyakarta

Mulyani, Sri. 2005. Optimalisasi Pengunaan Bahan Alam dalam Media Pembelajaran. Makalah pada Seminar Nasional Kimia UNY dan Ikahimki pada 24 September 2005. Yogyakarta

Rosid. 2005. Parfume-Parfume. Makalah pada Workshop Kewirausahaan UGM dan Ikahimki pada 27 September 2005. Yogyakarta

Sastrohamidjojo, Hardjono. 2005. Potensi Minyak Atsiri Indonesia. Makalah pada Workshop Kewirausahaan UGM dan Ikahimki pada 27 September 2005. Yogyakarta

Wijayanti, Listyani dan Sumaryono, Wahono. 2005. Kebijakan Riset dan Teknologi dalam Pengembangan Potensi Bahan Alam Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Kimia UNY dan Ikahimki pada 24 September 2005. Yogyakarta

1 komentar:

Anonim mengatakan...

(Dikutip dari: materi Strategic Forum – QPlus Management Strategies 2008)

Strategi Filsafat Penelitian Milenium III
(Butanya Dasar Belajar Mengajar: Theory of Everything)
Oleh: Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. MEREKA (para peneliti – QZ) seakan-akan pelukis yang mengumpulkan tangan, kaki, kepala dan anggota-anggota lain bagi lukisannya dari macam-macam model. Masing-masing bagian dilukis dengan sangat bagus, tetapi tidak dihubungkan dengan satu tubuh sendiri, dan karena sama sekali tidak akan cocok satu sama lain, hasilnya akan lebih merupakan monster daripada manusia (Nicolas Copernicus).

APAKAH (ilmu) pengetahuan yang terkumpul, dipelajari, dimiliki dan diajarkan selama ini masih berupa monster? Bayangkan sosok gambaran seluruh (ilmu) pengetahuan semesta yang berserakan. Lebih kecil lagi, seluruhnya di satu pustaka. Lebih kecil lagi, di satu cabang ilmu. Lebih kecil lagi, di satu bidang ilmu. Lebih kecil lagi, satu hal sosok gambaran tentang semut, puisi, manajemen atau jembatan saja, terdiri atas potongan kacau banyak sekali. Potongan-potongan tulisan sangat bagus sampai buruk, jelas sampai kabur, dan benar sampai salah besar, yang tak menyatu, tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan meski hal yang sama sekalipun. Ini membuat sulit siapa pun meneliti, belajar dan mengajarkan, ditandai dengan polemik panjang.

Mengapa bisa demikian? Ada analogi menarik cerita lima orang buta ingin mengetahui tentang seekor gajah, yang belum pernah tahu gambaran binatang itu. Selain buta, tubuh mereka berbeda-beda tinggi badannya. Mereka pun berbaris berjajar, menghadap seekor gajah besar yang di keluarkan pemiliknya dari kandang. Orang yang pertama agak tinggi badannya, maju meraba bagian depan memegang belalai dan mengatakan gajah itu seperti ular. Yang kedua sedang badannya, meraba mendapati bagian kaki dan mengatakan gajah seperti pohon kelapa. Yang ketiga tinggi badannya, memegang bagian kuping dan mengatakan gajah seperti daun talas. Yang keempat paling pendek badannya, maju di bawah perut gajah tidak memegang apa-apa dan mengatakan gajah seperti udara. Yang kelima pendek tubuhnya, maju meraba bagian belakang memegang ekor dan mengatakan gajah itu seperti pecut. Tentu, pemahaman gajah sesungguhnya dari kelima orang buta ini akan berbeda bila disodorkan gambar ukiran timbul atau patung kecil seekor gajah sebelumnya.

Seperti itulah, siapa pun yang hanya memahami satu sudut pandang cabang (ilmu) pengetahuan sebagai gambaran pemecahan suatu masalah, tanpa luasan pandang menyeluruh (ilmu) pengetahuan. Memang, merupakan hukum alam segala sesuatu yang seragam (besar sedikit jumlahnya) makin lama makin beragam (kecil banyak jumlahnya), dan pada tingkat kekacauan dibutuhkan sistem keteraturan untuk memahaminya sebagai satu kesatuan. Tetapi, nampak (hampir) mustahil (karena tenaga, waktu dan biaya terbatas) mempelajari seluruh cabang (ilmu) pengetahuan mendapatkan pemahaman luas dan dalam semesta untuk suatu masalah. Betapa beruntung dunia andai sosok kecil gambaran satu kesatuan the body of science itu ada. Gambaran rangkuman prinsip-prinsip satu kesamaaan semua hal dari sekian banyak perbedaan dalam semesta, sebuah Theory of Everything (TOE).

JIKA Anda tahu bagaimana alam semesta ini bekerja, Anda dapat mengaturnya (Stephen William Hawking).

Kemudian, bagaimanakah mengetahui seseorang (dan juga diri sendiri) sebenarnya tergolong buta (karena tanpa TOE) terhadap sosok (ilmu) pengetahuan dimiliki sekarang?

Dengan sopan dan rendah hati, semua peneliti, pengajar atau siapa pun bidang apa pun harus menanyakan: Apa prinsip dasar asumsi penelitian, belajar dan mengajar (ilmu) pengetahuan yang diteliti, dimiliki atau diberikan? Jika jawaban berupa kalimat retorika atau basa-basi, mungkin ia (dan kita) tergolong masih buta tentang the body of science hal bidang ilmu pengetahuan itu.

Lalu, apa rangkuman (kecil) prinsip dasar asumsi TOE dalam meneliti, belajar, mengajar dan mengelola ilmu pengetahuan hal apa pun?

KETIDAKMAMPUAN seseorang untuk menjelaskan idenya secara singkat, barangkali dapat merupakan tanda bahwa dia tidak mengetahui pokok persoalan secara jelas (C. Ray Johnson).

Ilmu pengetahuan (obyek empiris) dinyatakan benar ilmu pengetahuan selama asumsi dasar diakui, yaitu ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang teratur (systematic knowledge) (pernyataan yang diterima setelah abad XVII) (The Liang Gie, 1997:380). Tanpa asumsi dasar keyakinan adanya keteraturan ini, proses meneliti, belajar mengajar apa pun yang di bangun di atasnya hanyalah potongan-potongan pengetahuan yang tidak efektif, efesien dan produktif. Seperti pernyataan jernih ilmuwan Carl Sagan, bahwa jika kita hidup di atas sebuah planet di mana segala sesuatu tidak pernah berubah, sedikit sekali yang bisa dikerjakan. Tidak ada yang harus dibayangkan, dan tidak akan ada dorongan untuk bergerak menuju ilmu pengetahuan. Namun jika kita hidup di dalam dunia yang tidak bisa diramalkan di mana semua hal berubah secara acak atau dengan cara sangat rumit, kita juga tidak akan bisa menggambarkan semua keadaan. Di sini juga tidak ada ilmu pengetahuan. Tetapi kita hidup di dalam semesta yang berada di kedua keadaan ini. Di alam ini semua keadaan berubah, tetapi mengikuti pola, aturan, atau mengikuti yang kita katakan sebagai hukum-hukum alam.

Lebih jelas, prinsip dasar asumsi keteraturan ini diurai Jujun S. Suriasumantri (1977:7-9) dengan baik, yaitu obyek empiris (tertentu) itu serupa dengan lainnya seperti bentuk, struktur, sifat dan lain-lain, lalu (sifat) obyek tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu (meski pasti berubah dalam waktu lama yang berbeda-beda), serta tiap gejala obyek bukan bersifat kebetulan (namun memiliki pola tetap urutan sama atau sebab akibat). Akhirnya, saya memastikan rincian prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan ini dalam TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Science, bahwa definisi ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang memiliki susunan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang teratur. (Teratur pada TQZ Scientific System of Science adalah teratur sama dalam fungsi, jumlah, urutan, kaitan, dan paduan menyeluruh di semesta meski hal berbeda apa pun). Sebuah TOE, jawaban masalah dasar dan besar yang menghantui pikiran manusia selama dua ribu tahun atau dua millennium.

TEORI adalah sekelompok asumsi masuk akal dikemukakan untuk menjelaskan hubungan dua atau lebih fakta yang dapat diamati, menyediakan dasar mantap memperkirakan peristiwa masa depan (JAF Stoner).

TOE penting sekali dalam meneliti, belajar mengajar dan mengelola bidang apa pun. Memecahkan suatu masalah sulit, tetapi mengenali (fenomena) masalah lebih sulit lagi. Dengan mengetahui dan memahami TOE, sangat membantu mengenali bila berhadapan atau merasakannya. Misal, seseorang telah disodorkan gambaran prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan akan lebih mudah untuk mengambil kesimpulan jika suatu saat menghadapi (fenomena) satu atau banyak masalah, meski belum pernah dikenalnya. Jadi, fungsi TOE – pada TQZ Scientific System of Science tak lain sebuah paradigma scientific imagination benchmarking sistematis, berupa metode synectic kreatif menggunakan metafora dan analogi rinci menuntun suatu usaha memilih jalur proaktif terhadap suatu hal dengan memperhatikan fakta dan kemungkinan yang telah diidentifikasi dan dileluasakan, dengan lima dasar (posisi), fase (kualitas) dan level (sempurna). Suatu mental image atau model ilmiah analogi fenomena semesta dalam bentuk keteraturan yang dapat dipahami.

Contoh sederhana (meski sebagai TOE belum cukup teratur), jika gambaran prinsip dasar asumsi keteraturan tubuh mahluk hidup sempurna memiliki kepala, dada, perut, tangan dan kaki, sedang lainnya berupa bagian tambahan tubuh. Maka, seseorang yang meyakini dan memahami keteraturan ini akan melihat persamaan fungsi tubuh pada ikan gabus, kupu-kupu, monyet, ular dan burung pipit, selain perbedaan bagian itu. Dengan prinsip dasar asumsi keteraturan itu, tubuh mahluk hidup akan lebih mudah diteliti, pelajari dan diajarkan dengan benar, bahkan terhadap mahluk hidup unik lain yang baru dilihat.

KARYA seorang ilmuwan berlandaskan keyakinan bahwa alam pada pokoknya teratur. Bukti yang menunjang keyakinan itu dapat dilihat dengan mata telanjang bukan hanya pada pola sarang lebah atau pola kulit kerang, tetapi ilmuwan juga menemukan keteraturan pada setiap tingkat kehidupan (Henry Margenau).

Bukti monster (ilmu) pengetahuan demikian besar, merugikan dan banyak di sekeliling. Contoh monster-monster itu, dalam seminar dan diskusi, buku dan makalah, ulasan dan kritikan berbagai masalah di mana-mana tidak menyuguh keteraturan. Misal, bahasan mencipta puisi, cara menulis, atau mendefinisikan sesuatu saja, tanpa jelas kepala, tangan, badan, perut, dan kakinya, bahkan tanpa memastikan yang dijelaskan itu adalah bagian kaki atau kepala. Atau lebih parah lagi, tidak diketahui apakah yang disajikan itu kaki, jari, atau gigi, karena jumlahnya demikian tidak tetap dan berbeda. (Perhatikan kesimpulan utama penyebab masalah dan pemecahannya bidang ilmu hal yang sama sekali pun, bisa satu, dua, tiga, empat, lima, enam, sembilan, tujuhbelas, limapuluhdua, dan seterusnya, belum lagi bicara keteraturan urutan dan kaitan antar penyebab atau antar pemecahan yang disebutkan itu). Apalagi membahas masalah mengenai cara mengatasi krisis pangan, krisis energi atau strategi keunggulan usaha (suatu organisasi, daerah, bahkan negara), pasti monster lebih mengerikan.

Contoh nyata monster raksasa, menunjukkan belum teraturnya kelompok ilmu sebagai ilmu pengetahuan. Deobold B. Van Dalen menyatakan, dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu-imu sosial takkan pernah menjadi ilmu dalam artian yang sepenuhnya. Di pihak lain terdapat pendapat bahwa secara lambat laun ilmu-ilmu sosial akan berkembang juga meskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang dicapai ilmu-ilmu alam. Menurut kalangan lain adalah tak dapat disangkal bahwa dewasa ini ilmu-ilmu sosial masih berada dalam tingkat yang belum dewasa. (Ilmu dalam Persfektif, Jujun S. Suriasumantri, 1977:134). Juga C.A. Van Peursen, dalam tahap perkembangan ilmu pengetahuan kemajuan bidang ilmu alam lebih besar daripada ilmu kehidupan, dan ilmu kehidupan lebih maju dari ilmu kebudayaan (Strategi Kebudayaan: 1976:184-185). Sedang di dunia akademi, berjuta-juta hasil penelitian seluruh dunia kurang berguna dan sukar maju karena berupa monster maha raksasa, tanpa TOE yang merangkai sebagai satu kesatuan the body of science.

Akhirnya, bagaimana mungkin (manusia) siapa pun yang terlibat proses meneliti, belajar, mengajar dan menggunakan ilmu pengetahuan sepanjang hidup dapat berpikir tenang, selama prinsip dasar asumsi keteraturan (ilmu) pengetahuannya belum beres? Sebab, jika prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan yang didapat dan diberikan saja kebenarannya meragukan, maka kredibilitas kemampuan, nilai, gelar (dan status) seseorang (dan organisasi) itu pun diragukan. Karena, sebenar atau setinggi apa pun nilai memuaskan didapat dari pendidikan dengan pelajaran bahan yang buruk atau salah, tetaplah buruk atau salah, (setelah mengetahui bagaimana kebenaran suatu hal itu) sebenarnya. Dan, tanpa keteraturan TOE, penelitian dan belajar mengajar, seminar dan diskusi, buku dan makalah, ulasan dan kritikan berbagai masalah terus menghasilkan monster di mana-mana. Banyak buang tenaga, waktu dan biaya percuma. Fatal dan mengerikan.

LEBIH baik menjadi manusia Socrates kritis yang tidak puas, daripada menjadi babi tolol yang puas (Henry Schmandt).

BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)